top of page

Pengaturan Televisi Di Indonesia
Sebagai salah satu media massa, televisi memiliki dampak yang kuat dalam
menyampaikan informasi dan membentuk opini publik. Televisi pertama kali ditemukan oleh John Logie Baird asal Skotlandia tahun 1926. Perkembangan televisi dan penyiaran televisi di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Televisi pertama di Indonesia dibawa dari Uni Soviet saat Pameran Perayaan 200 tahun kota Yogyakarta.


Perkembangan pengaturan penyelenggaraan sistem penyiaran televisi di Indonesia
dikategorikan kedalam tiga era, yaitu:
a. Era Monopoli TVRI (1962-1971)

Televisi mulai tayang perdana di Indonesia pada 17 Agustus 1962 secara bersamaan dengan digelarnya perayaan Hari Proklamasi Republik Indonesia ke-17. Pada 24 Agustus 1962, Presiden Soekarno meresmikan televisi pertama di Indonesia, yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI). Kemudian pada tanggal yang sama, TVRI menyiarkan secara langsung pembukaan olahraga yakni Asian Games ke-4 di Senayan, Jakarta. Indonesia merupakan negara Asia keempat yang memiliki medium televisi setelah Jepang, Filipina, dan Thailand. Pada tanggal 20 Oktober 1963, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 215 Tahun 1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI sebagai badan yang mengatur televisi ini. Terdapat tiga dasar pertimbangan pembentukan Yayasan TVRI dalam Keputusan Presiden No. 215 Tahun 1963. Pertama, penyelesaian Revolusi Indonesia yang multikompleks, revolusi dalam bidang rohaniah/spiritual dan fisik merupakan unsur-unsur pokok pembentukan

manusia sosialis. Kedua, televisi sebagai komunikasi massa yang diperlukan dalam
revolusi rohaniah/spiritual dan fisik sehingga diperlukan perencanaan dan pengawasan
program yang intensif untuk mencapai kegunaan yang sesuai. Ketiga, asas-asas
penatalaksanaan perlu disesuaikan dengan strategi dasar ekonomi Indonesia yang
termaktub dalam deklarasi ekonomi RI tahun 1963.
Yayasan TVRI berpusat di Jakarta dengan cabang-cabang lain di Indonesia. TVRI
merupakan satu-satunya badan yang berwenang untuk mendirikan stasiun-stasiun televisi
di Indonesia serta berwenang untuk menentukan bentuk atau tipe alat-alat televisi yang
masuk ke Indonesia baik pemancar maupun penerimaan (Pasal 1-3 Keputusan Presiden
No. 215 Tahun 1963). Sebagai media komunikasi massa dalam pembangunan mental
khususnya pembentukan manusia sosialis Indonesia, TVRI melakukan kegiatan-kegiatan
dalam bidang penerangan, pendidikan, ilmu pengetahuan, keagamaan, olahraga,
kesenian, dan hubungan kebudayaan antar negara. Selain itu, TVRI juga berfungsi
sebagai badan penyelidikan dan penelitian menuju kesempurnaan perkembangan baik
program maupun teknis bidang penyiaran televisi.
Modal TVRI diatur dalam Pasal 6 sampai 8 Keppres No. 215 Tahun 1963 terdiri
dari semua bangunan serta kelengkapannya dan Yayasan Gelora Bung Karno di Jakarta.
Modal Yayasan itu ditambah subsidi dari Pemerintah yang disalurkan Pemerintah Agung,
Iuran wajib dari pemilik pesawat penerima televisi, dan hasil pendapatan dari kegiatan
TVRI. Pasal 10 Keppres mengatur pelaksanaan tugas harian TVRI.
Untuk melaksanakan misi TVRI, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 218 Tahun 1963 tanggal 20 Oktober 1963 tentang Pemungutan
Sumbangan Iuran untuk Membantu Pembayaran Yayasan TVRI sebagai pelengkap
Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963. Subyek iuaran adalah pemilik pesawat
penerima televisi dan atau ahli warisnya dan kuasanya.
Pengaturan pembentukan TVRI dalam keputusan Presiden Nomor 215 Tahun
1963 sudah benar apabila dibaca pada tahun 1963 yang berarti sudah dirasakan sebagai
kebutuhan mendesak untuk mengatur pertelevisian di Indonesia. Sejak jaman Orde Baru
tahun 1966, Keputusan Presiden diperbaiki. TVRI sebagai penyiaran televisi di Indonesia
menurut Keputusan Presiden Nomor 215 tahun 1963 tidak sesuai lagi dengan kebutuhan

masyarakat dan perkembangan bangsa Indonesia. Keputusan Presiden ini
dilatarbelakangi pertimbangan yang sudah usang. Terdapat dua dasar pertimbangan
dalam bagian konsideransnya yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
bahasa Indonesia. Pertimbangan butir 1 menunjukkan pembentukan manusia sosialis
Indonesia. Tujuan seperti itu bukan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia sebagai
dimanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, alinea keempat. Sedangkan pertimbangan butir
2 pada intinya mengatakan bahwa Televisi pada masa ini diyakini sebagai alat
komunikasi massa yang sangat diperlukan dalam revolusi rohaniah/spiritual dan fisik
dalam pembinaan bangsa dan negara, yang pada saat itu berada di dalam taraf permulaan
perkembangannya, sehingga diperlukan perencanaan programming dan pengawasan
secara lebih intensif sehingga tercapai daya gerak dan daya guna sesuai dengan
kebutuhan Revolusi multikompleks. Dengan begitu, kelahiran TVRI semata-mata
dimaksudkan untuk memenuhi kepenuhan tuntutan perjuangan Revolusi untuk
pembentukan manusia sosialis Indonesia.
Dalam batang tubuh Keputusan Presiden Nomor 215 tahun 1963 disebutkan
monopoli pembentukan dan penyelenggaraan televisi di Indonesia ada di tangan TVRI.
Pasal 3 menyatakan TVRI sebagai satu-satunya badan yang berwenang membangun,
mendirikan stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dan berwenang menentukan tipe alat-alat
televisi yang dimasukkan ke Indonesia. Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun
1963 menyatakan bahwa TVRI juga memberikan wewenang untuk melakukan tugasnya
sebagai alat hubungan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan mental/spiritual
dan fisik bangsa Indonesia serta pembentukan manusia sosialis Indonesia pada
khususnya. Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963 menyatakan bahwa
TVRI melakukan kegiatan-kegiatan di bidang penerangan, kesenian/kebudayaan, dan
hubungan kebudayaan antar negara. Pasal 7 Keputusan Presiden Tahun 215 Tahun 1963
menyatakan bahwa Pengaturan penyiaran televisi sebagai monopoli TVRI berbentuk
hukum Yayasan yang modalnya merupakan kekayaan negara yang terpisah. Pasal
tersebut dianggap kurang tepat karena Yayasan TVRI tidak dipahami sebagai bagian dari
kekayaan negara. Salah satu sumber modal Yayasan TVRI berasal dari Iuran Wajib
pemilik pesawat penerima televisi (Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963).
Pengaturan tersebut bertentangan dengan kenginan Pasal 23 ayat 5 UUD 1945 yang

mennyatakan segala sesuatu yang membebani rakyat harus dilakukan dengan undang-
undang, yang berarti proses tersebut dilakukan pembiacaraan antara Pemerintah dan
DPR. Dengan demikian pengaturan yang mewajibkan pemilik pesawat televisi
memberikan iurannya yang diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963
Keputusan Presiden Nomor 218 Tahun 1963 tentang Pemungutan Sumbangan Iuran
untuk membantu Pembayaran Penyelenggaraan Yayasan TVRI bertentangan dengan
ketentuan Pasal 23 ayat 5 UUD 1945 yang menetapkan bahwa untuk memeriksa
tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan
yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963 tidak dibenarkan karena penyiaran
televisi di Indonesia tidak tepat diatur dalam Keputusan Presiden, melainkan ke dalam
bentuk yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang. Hal tersebut disebabkan karena materi
muatan yang harus diatur yaitu penyiaran, merupakan sesuatu yang berhubungan
langsung dengan hidup orang banyak.
b. Era Pembaruan (1971-1997) yang terdiri dari tiga era lagi yaitu:
● Era Pembaruan Tahap Satu (1971-1986)

Era ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Penerangan
Nomor 54/B/KEP/MENPEN/1971 pada 3 Mei 1971 tentang Penyelenggaraan
Siaran Televisi di Indonesia oleh Departemen Penerangan. Dalam era ini,
dianggap perlu adanya penanganan yang terintegrasi dalam pembangunan
nasional serta pengaturan yang tegas tentang wewenang dan kebijaksanaan
dikarenakan adanya perkiraan terjadinya perkembangan yang pesat mengenai
pertelevisian di Republik Indonesia. Dalam era ini, wewenang untuk
menyelenggarakan siaran televisi hanya ada pada pemerintah, dalam hal ini
Departemen Penerangan. Dalam era ini dikenal istilah closed circuit untuk
keperluan khusus terutama pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan pengaturan
khusus dan harus mendapat izin terlebih dahulu kepada Departemen Penerangan.
Pengaturan yang ada dalam era pembaruan tahap satu merupakan sebuah awal

untuk mulai melakukan pembaruan pengaturan penyelenggaraan pertelevisian di
Indonesia. Kebijakan pengaturan ini bertahan selama lima belas tahun.
● Era Pembaruan Tahap Dua (1986-1987)

Era ini ditandai dengan dikeluarkannya kebijaksanaan Menteri
Penerangan RI melalui Keputusan Menteri Penerangan Nomor
167/B/KEP/MENPEN/1986 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia
pada tanggal 20 Agustus 1986 sekaligus mencabut aturan sebelumnya pada era
pembaruan tahap satu. Awalnya, terutama melalui Keputusan Presiden Nomor
215 Tahun 1963 (Era Monopoli) tidak ada pengaturan tentang materi dan bagian
dari penyiaran pertelevisian. Keputusan Menteri Penerangan Nomor
167/B/KEP/MENPEN/1986 yang mencabut Kepmen Nomor 54B/1971
memperkenalkan sekaligus mengatur lima hal baru yang merupakan bagian dari
pertelevisian di Indonesia, yaitu siaran televisi, stasiun relay, parabola, sistem
distribusi, dan sistem closed circuit. Dalam era pembaruan tahap dua
memungkinkan Pemerintah Daerah atau Instansi resmi lainnya ikut serta dalam
pertelevisian di Indonesia serta memungkinkan dalam penggunaan Antena
Parabola. Penggunaan sistem distribusi harus mendapatkan izin dari Departemen
Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi setelah mendapat rekomendasi dari Departemen Penerangan,
Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Khusus siaran televisi dengan
sistem sistem closed circuit dengan keperluan seperti pendidikan dan ilmu
pengetahuan tidak memiliki keharusan untuk memiliki izin, selain keperluan
tersebut, penyelenggaraan sistem televisi dengan sistem closed circuit harus
mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Penerangan, Direktorat Jenderal
Radio, Televisi, dan Film. Dalam era ini, sudah terlihat upaya menghapus
monopoli penyelenggaraan televisi dari TVRI walaupun masih samar. Era
pembaruan tahak dua ini berlangsung sejak 20 Agustus 1986 sampai dengan 20
Oktober 1987. Perkembangan pertelevisian di Indonesia harus benar-benar
terintegrasi dalam pembangunan nasional di segala bidang serta dapat
menghindari timbulnya dampak langsung di bidang ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan juga gannguan elektromagnetik yang

merugikan. Sambil menunggu ditetapkannya undang-undang tentang siaran, perlu
untuk menyempurnakan ketentuan-ketentaun mengenai wewenang dan
kebijaksanaan tentang penyelenggaraan siaran televisi di Indonesia. Pada era ini
terdapat pemikiran baru bahwa penyelenggaraan penyiaran televisi dimaksudkan
untuk berkembang ke arah teknologi dan penyiaran televisi itu sendiri, berbeda
dengan era monopoli yang dimaksudkan untuk mewujudkan manusia sosialis
Indonesia.
Dalam batang tubuh Kepmen Nomor 167/B/KEP/MENPEN/1986 terlihat
jelas upaya untuk mengakhiri era monopoli TVRI sebagai penyelenggara
penyiaran televisi di Indonesia, namun masih tidak terlalu ditekankan. Pada pasal
kedua yang mengatur kewenangan penyelenggaraan siaran televisi hanya ada
pada pemerintah, dalam hal ini Departemen Penerangan. Namun pada pasal ketiga
menyatakan bahwa Departemen Penerangan memperbolehkan partisipasi
Pemerintah Daerah atau instansi resmi lainnya di dalam menunjang pembangunan
prasarana pertelevisian di Indonesia sesuai pola yang disusun oleh Departemen
Penerangan dengan ketentuan proyek pembangunan tersebut diintegrasikan dalam
proyek pengembangan pertelevisian Departemen Penerangan sebagai
ekstensifikasi jaringan TVRI. Beberapa ketentuan di atas berarti memungkinkan
keberadaan badan lain (Pemerintah Daerah dan Instansi Resmi lainnya) untuk
membantu penyelenggaraan pembangunan prasarana pertelevisian di Indonesia.
jadi, TVRI bukan lagi pemain tunggal, walaupun institusi lainnya hanya bersifat
membantu TVRI. Oleh karena itu, pada era ini, masih samar karena semua tetap
berpusat kembali ke Departemen Penerangan. Pada pasal empat Kepmen Nomor
167/KEP/MENPEN/1986 tentang penggunaan antena parabola. Dalam pasal ini
mengatur penggunaan antena parabola oleh masyarakat diatur dengan ketentuan
pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan Antena Parabola yang
bersangkutan merupakan tanggung jawab penyelenggara, namun sistem distribusi
harus mendapat izin dari Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi
setelah mendapat rekomendasi dari Departemen Penerangan. Pasal lima dalam
Kepmen yang masih sama diperkenalkan siaran televisi yang diselenggarakan
dengan sistem closed circuit untuk keperluan khusus terutama pendidikan dan

ilmu pengetahuan, di luar keperluan ini harus mendapat izin terlebih dahulu dari
Departemen Penerangan.
● Era Pembaruan Tahap Tiga (1987-1990)

Era pembaruan tahap tiga ditandai dengan keluarnya aturan tentang Siaran
Saluran Terbatas TVRI yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Penerangan
RI Nomor 190A/KEP/MENPEN/1987 tanggal 20 Oktober 1987. Dalam era ini
dilakukan peninjauan kembali terhadap program-program siaran televisi yang
disajikan selama ini serta melalui pengamatan dan penelitian bahwa tahapan yang
memungkinkan saat ini untuk melaksanakan sebagai upaya pengembangan siaran
televisi ialah dengan menambah program siaran melalui saluran terbatas. Dalam
pasal satu dan dua Kepmen ini menampakkan adanya perubahan sikap yaitu
bahwa Direktorat Televisi Departemen Penerangan RI menegaskan selain
menyelenggarakan Siaran Saluran Umum (SSU), yayasan TVRI untuk
menyelenggarakan Siaran Saluran Terbatas (SST). Dalam hal ini, TVRI dapat
menunjuk pihak lain sebagai pelaksana ketentuan. Perjanjian yang dilakukan
harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas, kepentingan pemerintah, dan
kepentingan kesinambungan penyelenggaraan siaran oleh Yayaysan TVRI.
pengoperasian SST di bawah pengawasan dan pengendalian Yayasan TVRI serta
dalam acara SST disisipkan siaran niaga/iklan yang diutamakan untuk menunjang
pembangunan nasional. Aturan tersebut merupakan kebijakan pertama yang
memungkinkan pihak swasta melaksanakan penyiaran televisi di Indonesia, itu
berarti monopoli TVRI dalam melaksanakan penyiaran berakhir.
Pihak swasta pertama yang melaksanakan penyiaran televisi adalah
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) melalui pemberian izin prinsip dari
Departemen Penerangan RI untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Siaran
Televisi Terbatas (SST). SST tidak diperkenankan melaksanakan siaran warta
berita sendiri, tetapi wajib merelay siaran berita TVRI serta siaran-siaran resmi
pemerintah. Pada tahap pertama, waktu siaran SST maksimum 18 jam per hari.
Untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan siaran dibentuk Komisi
Siaran. Pola acara RCTI disesuaikan dengan pola dasar siaran SST yaitu 10%
untuk siaran berita/pemerintah, 20% siaran pendidikan, agama, dan kebudayaan,

55% siaran hiburan dan olah raga, dan 15% untuk siaran niaga. Adapun perjanjian
yang mewajibkan RCTI memberikan 12,5% pendapatan dari pelaksanaan siaran
niaga/iklan kepada Yayasan TVRI. Pada tanggal 1 Agustus 1990, RCTI Jakarta
diijinkan melakukan siaran tanpa dekoder, yang selanjutnya memperbarui kontrak
kerjasama dengan Yayasan TVRI pada 24 Agustus 1990. Setelah pembaruan
kontrak ini, RCTI Jakarta berubah dari SST Jakarta menjadi Stasiun Penyiaran
Televisi Swasta Umum (SPTSU) Jakarta dengan jam siaran tidak terbatas (24
jam). Juli 1991, RCTI Jakarta diperbolehkan menggunakan satelit Palapa dengan
Sistem Satelit Domestik (SKSD) Palapa B2P, sehingga pemilik antena parabola di
Indonesia dapat menyaksikan siaran RCTI Jakarta dengan jelas. Juli 1991, RCTI
Jakarta diperbolehkan menggunakan satelit Palapa dengan Sistem Satelit
Domestik (SKSD) Palapa B2P, sehingga pemilik antena parabola di Indonesia
dapat menyaksikan siaran RCTI Jakarta dengan jelas. Era ini berlangsung hingga
24 Juli 1990. Sejak era pembaruan tahap tiga ini terlihat keinginan untuk
membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk menyelenggarakan Siaran Saluran
Terbatas dengan mengandalkan iklan. Kemungkinan melaksanakan Siaran
Saluran Terbatas oleh pihak lain yang terlebih dahulu ditunjuk TVRI mendorong
pelaku bisnis (swasta) untuk segera mempersiapkan terjun ke dunia penyiaran
televisi. Terbukti bahwa hanya dalam delapan hari setelah aturan itu dikeluarkan,
RCTI lahir dengan berpedoman pada Ijin Prinsip Departemen Penerangan,
Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI Nomor 557/Dir/TV/1987 tanggal 28
Oktober 1987 yang mempersilahkan RCTI menyelenggarakan Siaran Saluran
Terbatas dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pada era ini juga sempat diberikan
Izin Prinsip pada Surya Citra Televisi (SCTV) oleh Departemen Penerangan,
Dirjen RTF Nomor 1415/RTF/K/IX/1989. Posisi Direktur Televisi sekaligus
Direktur Yayasan TVRI padahal perbedaan antara keduanya sangat terlihat.
Sebagai direktur Televisi, pejabat itu merupakan perpanjangan tangan Dirjen
Radio, Televisi, dan Film, sedangkan sebagai Direktur Yayasan TVRI tidak lebih
sebagai pejabat swasta. Kesalahan atau masalah itu diperbaiki oleh Departemen
Penerangan, seluruh izin empat TV Swasta yang lahir kemudian dikeluarkan oleh
Menteri Penerangan. Era pembaruan tahap tiga ini masih berkutat soal bagaimana

penyiaran itu dapat berjalan dengan baik dan belum sempat memikirkan aspek-
aspek hukum lainnya. Selain itu, kepedulian akan hukum dan ketertarikan para
ahli hukum untuk mengantisipasi masalah ini masih rendah. Situasi ini juga
disebabkan oleh kesalahan yang sudah dilakukan ketika pertama kali menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963 yang kemudian disusul oleh
Keputusan Menteri Penerangan pada era-era berikutnya. Keadaan yang kacau
balau baru berakhir setelah lahirnya Undang-undang Nomor 24 tahun 1997
tentang penyiaran yang mulai berlaku pada tanggal 29 September 1997.
● Era Pembaruan Tahap Empat (1990-1997)

Era ini dimulai dengan lahirnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor
111/KEP/MENPEN/1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia tanggal 24 Juli
1990. Aturan ini semakin membuka kran kemungkinan bagi pihak swasta untuk
melaksanakan penyiaran televisi di Indonesia. Menyusul RCTI yang sudah lebih
dahulu berdiri, melalui ijin prinsip yang diterbitkan Departemen Penerangan,
Dirjen RTF Nomor 1415/RTF/IX/1989 diberikan penyelenggaraan SST kepada
PT Surya Citra Televisi (SCTV) di Surabaya dan sekitarnya. Secara operasional,
kegiatan SCTV baru dapat dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Penunjukan
Pelaksana STSU SCTV Nomor 150/SP/Dir/TV/1990_02/SPS/SCTV/VIII/1990
tanggal 24 Agustus 1990. SCTV diperbolehkan menyelenggarakan siaran
nasional dengan ketentuan bahwa siaran nasional SCTV berkedudukan di Jakarta
merupakan siaran gabungan antara SCTV Surabaya dengan SCTV Denpasar.
Kemudian Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mendapat izin prinsip dari
Departemen Penerangan, Dirjen RTF Nomor 1271B/RTF/K/VIII/1990 tanggal 1
Agustus 1990. Pengoperasian siaran TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23
Januari 1991 di Studio XII TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Pada tanggal 30 Januari
1993, lahir televisi swasta ANTEVE berdasarkan ijin prinsip Departemen
Penerangan, Dirjen RTF Nomor 207/RTF/K/I/1993 tentang Ijm SIaran Nasional
bagi PT Cakrawala Andalas Televisi. Siaran Anteve berkedudukan di Jakarta
merupakan siaran gabungan antara PT Cakrawala Andalas Televisi Bandar
Lampung dengan PT Cakrawala Bumi Sriwijaya Televisi Pelembang. PT
INdosiar Visual Mandiri (Indosiar) merupakan televisi swasta terbungsu yang

lahir pada 18 Juni 1992 berdasarkan ijin prinsip Departemen Penerangan, Dirjen
RTF Nomor 208/RTF/K/I/1993 sebagai penyesuaian terhadap Izin Prinsip
Pendirian Nomor 1340/RTF/K/VI/1992 dari Stasiun Swasta Khusus menjadi
SPTSU yang berkududukan di Jakarta. Jadi, Keputusan Menpen Nomor 111/1990
telah memungkinkan lahirnya lembaga-lembaga penyiaran swasta yaitu RCTI,
SCTV, TPI, ANTV, dan Indosiar. Era pembaruan tahap empat memungkinkan
dimulainya penataan dan pengaturan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan
penyiaran secara lebih jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 (satu) sampai Pasal
7 Kepmen Nomor 111/1990 secara transparan mulai diatur tentang dasar dan
fungsi penyiaran, syarat mendirikan SPTS, pola acara siaran, bahan siaran, bahasa
dan hak siaran, siaran niaga, teknis penyiaran acara, wajib ralat, kerjasama
penyiaran, partisipasi masyarakat, antena parabola, penyiaran sistem tertutup,
peluberan siaran, iuran pesawat penerima televisi dan sanksi. Dasar dan fungsi
penyiaran pada era ini sebagai sarana perjuangan pembangunan bangsa untuk
membudayakan Pancasila dan UUD 1945 dalam semua segi kehidupan
masyarakat. Syarat mendirikan SPTS yang diatur antara lain berbadan hukum
Indonesia, modal usaha seluruhnya harus modal nasional, mengkhususkan diri
dalam bidang penyiaran televisi, dan menandatangani perjanjian tertulis dengan
TVRI. SPTS juga berkewajiban untuk memberikan data dan informasi mengenai
kegiatannya secara berkala kepada Menteri Penerangan, paling sedikit dua kali
dalam setahun, melaporkan dan memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
Menteri Penerangan apabila modal atau kegiatan usahanya akan dialihkan kepada
SPTS lainnya, dan melaporkan kepada Menteri Penerangan, paling lambat enam
bulan sebelumnya, apabila SPTS akan menghentikan kegiatannya. Pelaksanaan
penyiaran setiap acara televisi yang akan disiarkan tidak boleh mengandung hal-
hal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, mendukung
pembudayaan Pancasila dan UUD 1945 dalam semua segi kehidupan masyarakat,
mendukung upaya pembangunan nasional sesuai kebijaksanaan pemerintah, baik
dalam maupun luar negeri, mendukung uapaya meningkatkan kecerdasan
kehidupan berbangsa, menyadari kebhinekaan bangsa Indonesia (menjauhi hal-hal
yang dapat menimbulkan pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan

(SARA), menyajikan acara dengan penuh sopan santun dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar, serta menjauhkan kemungkinan penyiaran sebagai sarana
penyebaran ideologi atau kebudayaan asing yang dapat melemahkan kepribadisan
bangsa dan ketahanan nasional. Pasal 15 Kepmen Nomor 111/1990 mewajibkan
penyelenggara penyiaran televisi untuk menyusun acara siarannya dalam bentuk
pola acara yang dengan jelas mencantumkan presentase diantara mata-mata acara
seperti siaran berita, penerangan/informasi, pendidikan dan kebudayaan, agama,
olahraga dan hiburan, siaran niaga, dan acara penunjang lainnya secara berkala,
enam bulan atau setahun sekali dapat diperbaharui atau disesuaikan dengan
keperluan penyiaran. Selanjutnya pada pasal 16 Kepmen Nomor 111/1990
mengatur tentang bahan siaran yang harus memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor
(STLS) dari Badan Sensor Film (BSF) sebelum disiarkan. Pada pasal 17 dan 18
mengaut mengani bahasa dan hak siaran, bahasa pengantar pertama tentu Bahasa
Indonesia yang baku dan Bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar kedua,
sedangkan bahasa asing lainnya dengan selektif dapat disiarkan hanya dalam
acara pelajaran bahasa.
c. Era Kemitraan (1997-sekarang)

Era ini bergulir pada tahun 1997, tahun ini merupakan awal kebangkitan hukum
penyiaran di Indonesia, ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997
tentang Penyiaran tanggal 29 September 1997. Melalui Undang-undang ini, semua aturan
main, kebijaksanaan, strategi, dan arah sistem penyiaran nasional diatur dengan baik,
meskipun hanya dalam bentuk umum, sedangkan dalam bentuk pelaksanaan teknis
dituangkan dalam peraturan pelaksanaan lainnya. Walaupun Undang-undang ini menjadi
dasar pijakan dalam penyelenggaraan penyiaran, tetapi dalam pelaksanaannya masih
memerlukan waktu. Secara de jure, penyelenggaraan penyiaran sudah diatur dengan tegas
dalam UU Penyiaran, sedangkan secara de facto, Undang-undang ini baru efektif
terlaksana pada tanggal 29 September 1999. Lembaga penyiaran yang sudah ada sebelum
diundangkannya undang-undang ini wajib menyesuaikan diri dengan undang-undang ini
(Pasal 77 ayat (2)). Ketentuan ini tetap mempertahankan keberadaan stasiun televisi yang
sudah ada sebelumnya seperti TVRI, RCTI, TPI, SCTV, ANTV, dan INDOSIAR

sekaligus mengharuskan keenam stasiun televisi ini menyesuaikan diri dengan undang-
undang ini.
Pengaturan penyelenggaraan sistem penyiaran televisi dimasukkan ke dalam
undang-undang khusus karena perkembangan teknologi yang sudah tidak memadai lagi
di Indonesia serta arus informasi yang dipacu oleh perkembangan teknologi tersebut telah
menyebar tanpa batas yang lalu dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, dibutuhkan undang-undang sebagai pemberi legalitas bagi
eksistensi keberadaan lembaga penyiaran yang sekaligus memberikan perlindungan dan
pengaturan mekanisme yang mengikat semua pihak yang berkaitan dengan media siaran
serta upaya memberikan perlindungan nilai-nilai budaya, watak, dan kepribadian bangsa.
Selain itu, media penyiaran memiliki sifat penyebaran atau diseminasi informasi yang
cepat, tepat, dan lengkap ke seluruh wilayah nusantara bahkan ke seluruh pelosok dunia
sehingga memberikan pengaruh kuat terhadap proses pembentukan dan berkembangnya
pola dan paradigma sosial yang baru. Selanjutnya juga karena masyarakat dan bangsa
Indonesia sangat undang-undang sebagai jaminan bahwa aspirasi dan kepentingan-
kepentingannya tidak dikorbankan demi penembangan media elektronika.
Pemikiran-pemikiran di atas dapat diserap oleh UU Penyiaran. Ada beberapa
alasan terkait dengan diaturnya penyiaran dalam hukum, pertama, penyiaran dipahami
sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, kedua, penyiaran melalui media
komunikasi massa elektronik memiliki kemampuan serta pengaruh yang besar dalam
membentuk pendapat, sikap, dan perilaku manusia, ketiga, penyiaran diyakini memiliki
peran yang penting dalam meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa yang dilandasi
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keempat, diyakini bahwa
kemampuan dan pengaruh yang besar serta perannya yang strategis, maka perkembangan
lembaga serta penyiaran di Indonesia perlu dibina agar dapat memberikan manfaat yang
besar, kelima, dalam suatu produk hukum memerlukan pokok-pokok pikiran, antara lain:
a. Pancasila, UUD 1945, dan GBHN sebagai landasan filosofis, konstitusional dan
operasional diyakini sebagai panduan dalam menumbuhkan, membina, dan
mengembangkan penyiaran.
b. Penyiaran memiliki nilai strategis sehingga perlu dikuasai negara.

c. Penyiaran memiliki kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit
geostationer sebagai sumber daya alam yang terbatas.
d. Masyarakat dapat menyelenggarakan penyiaran dan wajib mendukung
pertumbuhan dan perkembangan penyiaran.
e. Penyiaran yang diselenggarakan masyarakat itu merupakan bagian integral yang
tidak dapat dipisahkan dari sistem penyiaran nasional.
f. Penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang berkualitas dan mampu
menyerap serta merefleksikan aspirasi masyarakat yang positif dan beraneka
ragam serta meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk
nilai-nilai budaya asing.
g. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengembangan penyiaran dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu.
h. Pelanggaran terhadap ketentuan UU Penyiaran dikenai sanksi.

UU Penyiaran sebenarnya mengatur tentang sepuluh hal yaitu ketentuan umum, dasar, asas,
tujuan, fungsi, dan arah, penyelenggaraan penyiaran, pelaksanaan penyiaran, pelaksanaan
penyiaran, tata krama siaran, pembinaan dan pengendalian, penyerahan urusan, penyidikan,
sanksi dan ketentuan peralihan. Dalam UU ini tertulis bahwa penyiaran dikuasai oleh Negara
yang pembinaan dan pengendalian dilakukan oleh pemerintah.
Perubahan Undang-undang tentang Penyiaran
Setelah era kemitraan yang ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 24 Tahun 1997
tentang Penyiaran, UU tersebut masih dirasa kurang tepat untuk penyiaran di Indonesia karena
penyiaran masih sangat dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan
oleh pemerintah dan semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Maka dibentuklah UU yang baru
tentang penyiaran yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang juga
merupakan salah satu dasar utama pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebuah
badan independen yang bebas dari pemodal dan pemegang kekuasaan. Proses demokratisasi di
Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena
frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus menjalankan
fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk,
mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Dasar fungsi pelayanan informasi

yang sehat yang tertuang dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu diversity of content
(prinsip keberagaman isi) dan diversity of ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Kedua
prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan
informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang
beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program, sedangkan prinsip
keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media tidak terpusat dan
dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Dalam UU ini juga, dikatakan bahwa
pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran
merupakan ranah publik. Maka, sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2002 terjadi perubahan
fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan yang paling mendasar
adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini
merupakan hak eksklusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen bernama Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan
sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari
intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan.

COntact us

Thanks for submitting!

  • Grey Twitter Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by The New Frontier. Proudly created with Wix.com

bottom of page