top of page

Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia
Pengembangan SRV dan Pendirian Cabang-Cabang di Luar Solo dimulai dari Tiga
Program Kerja. Sejak berdiri pada tanggal 1 April 1993, SRV melakukan langkah strategis
dalam bidang penyiaran di tanah air. Tiga program kerja yang direalisasikan kelak menjadi
tonggak sejarah penyiaran di Indonesia. Pertama, pembentukan cabang-cabang stasiun radio di
luar kota Solo. Semula cabang tersebut merupakan pengelempokan anggota perkumpulan
pendengar radio SRV di kota tertentu yang membentuk organisasi untuk mendirikan
perkumpulan Radio Ketimuran. Kota yang berhasil mendirikan stasiun radio yaitu Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sebagian yang tidak berhasil mendirikan yaitu Bogor,
Purwokerto, dan Madiun. Kedua, pengadaan sarana dan prasarana terutama gedung studio dan
pemancar. Gedung studio Radio Ketimuran biasanya menyewa sebuah ruangan sesuai dengan
kemampuan perkumpulan. SRV telah memiliki prasarana yaitu Gedung studio khusus. Zender
atau pemancar SRV menjangkau di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumbawa.
Ketiga, penataan program siaran mencerminkan budaya Ketimuran untuk semua golongan
bangsa Timur. Isi siaran SRV mencerminkan keragaman budaya di Indonesia yang menjadi
cetak biru Radio Ketimuran yang berkembang setelah SRV.
Pembenahan yang terus dilakukan internal maupun eksternal, SRV terus berkembang.
Terdapat tiga strategi pengembangan yaitu pendirian cabang-cabang, pengembangan isi siaran
maupun peningkatan prasarana khususnya studio dan pemancar yang memperkuat SRV Pusat di
Kota Solo. Perkembangan SRV dapat dilihat dari jumlah anggota pendengar dan luas jangkauan
siaran. Anggota SRV ketika baru berdiri tahun 1933 hanya 100 orang, kemudian pada akhir
1940-an menjadi 4000 tersebar di seluruh Indonesia.
SRV sukses memancar dari Solo lalu mengembangkan sayapnya di berbagai kota
Nusantara. Dari keberhasilan meningkatkan kualitas pengelolaan stasiun SRV di Solo, SRV juga

melakukan perluasan jaringan di luar kota dengan mendirikan konsul atau cabang di berbagai
kota. Konsul semula adalah kelompok pendengar SRV yang berada di luar Solo. Perkumpulan
radio yang tumbuh di berbagai kota menggambarkan adanya “demam radio” atau “virus SRV”.
Dikatakan “Virus SRV” karena semangat mendirikan perkumpulan Radio tumbuh setelah SRV
berdiri di Solo. Sebelum SRV berdiri, telah berdiri stasiun radio swasta Belanda seperti BRV di
Jakarta, 1925 tetapi tidak mendapat respon dari masyarakat Indonesia untuk mengikutinya.
Berdirinya SRV tahun 1933 memunculkan perkumpulan radio di berbagai kota. Virus SRV cepat
mewabah disebabkan oleh kekuatan zender SRV dapat ditangkap di berbagai kota di Indonesia
seperti Pulau Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan. Hal ini membuat kaum elit pribumi
keturunan Tiong Hpa atau keturunan Arab bergabung untuk mengikuti jejak SRV.
Iklim keterbukaan mengelola lembaga penyiaran kemudian menjadi model pengelolaan
Radio Ketimuran yang lahir setelah SRV. Secara terbuka SRV menyampaikan “Warta SRV”
yang berisi anggota berhak penuh dalam segala lingkungan SRV tidak ada bedanya dengan
lainnya. Semua keadaan milik SRV menjadi milik segenap anggota. Dalam penerbitan “Warta
SRV” tanggal 1-31 Mei 1938 mengumumkan hasil dan informasi tentang rapat misalnya jumlah
peserta yang hadir dari mana saja asal mereka. Sistem organisasi yang amat menarik bagi
Indonesia yang masih terjajah waktu itu dengan produk yang menarik berupa siaran radio,
membuat beberapa daerah mendirikan perwakilan SRV yang disebut “konsul”, “kring”, atau
cabang. Bahkan kemudian daerah tersebut mendirikan radio serupa dengan SRV di Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Surabaya. Stasiun tersebut menerapkan sistem media oenyiaran serupa
dengan SRV yaitu isi siaran ketimuran, sistem anggota terbuka, pendapatan dari iuran, membuka
komunikasi melalui penerbitan media cetak atau buletin. Cabang-cabang radio ketimuran di
Indonesia dengan SRV sebagai pelopor menerapkan sistem “franchise sosial”.
Terdapat beberapa lembaga penyiaran di berbagai kota di Indonesia :
1. VORO Jakarta (Vereeniging voor Oostersche Radio Oemroep)

Cabang SRV yang pertama berdiri di Jakarta, tanggal 8 April 1934 dengan nama
SRV Kring (Cabang) Betawi yang dipimpin Gunari Wiryodinoto. Cabang tersebut
kemudian berganti nama menjadi VORO Jakarta (Vereeniging voor Oostersche Radio
Oemroep). VORO dikatakan “anak tertua” dari SRV yang beberapa tahun melepaskan
dari Solo. VORO bermula dari kekecewaan pribumi yang menjadi pendengar BRV yaitu

kalangan importir radio Jakarta yang meyakinkan BRV agar menyediakan satu zender
lagi ditujukan untuk siaran Kesenian Timur. BRV setuju dan memasang zender
Ketimuran 1 Juni 1993 dengan siaran Keroncong, gamelan Jawa dan Sunda. Seiring
berjalannya waktu, siaran kesenian BRV tidak memuaskan pendengar karena secara
teknis tidak bagus dan isi siaran tidak memenuhi harapan pendengar pribumi.
Sementara di Solo telah berdiri SRV, 1 April 1933 sebelum BRV menyiarkan
mengenai siaran Ketimuran, 1 Juni 1933. Berdirinya SRV dapat diterima dengan baik di
Jakarta. Zendernya bergelombang 52 meter terdengar dengan seterang-terangnya.
Munculnya SRV yang diterima di Jakarta membuat masyarakat Betawi baik kaum
pribumi. Keturunan Tionghoa, dan keturunan Arab menggabungkan diri menjadi anggota
SRV dengan konstribusi f 1,50 perbulan. Siaran radio seringkali mengalami gangguan
teknik karena siaran sangat tergantung dengan cuaca alam. Dengan begitu, muncul
gagasan untuk memperkuat signal SRV dengan sebuah zender atau repeater untuk
pendengar di Jakarta. Gagasan tersebut ditangguhkan karena Pemerintah Belanda sedang
mempersiapkan stasiun miliknya yaitu Netherland Indische Radio Oemroep Matschappij
(NIROM) 1 April 1934.
2. VORL Bandung (Vereeniging Oostersche Radio Luisteraars)

SRV Cabang Bandung berdiri pada tanggal 30 April 1934 dengan nama VORL
(Vereeniging Oostersche Radio Luisteraars) yang didirikan R Soedirdjo, R Apandi
Widaprawira dkk. Stasiun tersebut menggunakan pemancar sewaan dari radio amatir
bernama Tuindrop milik orang Belanda bernama van der Heyden. Setahun kemudian
terjadi perubahan pengurus sehingga VORL dipimpin oleh R Moch Enoch yang
kemudian melepaskan diri dari SRV dan berdiri sendiri. VORL tidak pernah kesulitan
untuk pengadaan materi siaran karena Bandung merupakan pusat kegiatan kesenian
Pasundan seperti wayang golek, kecapi dll. Pada tahun 1937 diadakan rapat pembentukan
Prikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) di Bandung dengan Ketua Soetardjo
Kartohadikoesoemo dan sekretaris merangkap bendahara Ir Sarsito Mangkunkusumo
(SRV). Guna mendorong partisipasi masyarakat bersiaran di studio VORL, majalah
berita VORL membuat iklan berjudul “Siaran Pertjobaan” yang ditawarkan kepada
perkumpulan music, perkumpulan tonil, perkumpulan seni suara, sekolah, kepanduan
untuk bersiaran di VORL.

3. VORS (Vereeniging Oesterse Radio Surabaya) dan CIRVO (Chinese Inhemse Radio-
Luisteraars Vereeniging Oost) Surabaya
Kota Surabaya terdapat perkumpulan VORS yang dipimpin oleh Sujadi di
Tambaksari, Surabaya sebagai cabang SRV.
4. Radio Semarang

Pada awalnya Radio Semarang adalah SRV Kring Semarang. Radio tersebut
mulai mengudara tahun 1936. Radio tersebut terhenti karena tentara Jepang masuk ke
Indonesia.
5. MAVRO, Yogyakarta (Mataramsche Vereeniging voor Radio Oemroep)
MAVRO didirikan oleh Kanjeng Pangeran Adipati (KPA) Surjoatmodjo, Pangeran
Pakuningrat dam Ir Purbowinoto tanggal 8 Februari 1934.
6. Cabang SRV di Bogor, Purwokerto, dan Madiun

SRV mendirikan cabang di Bogor, Purwokerto, dan Madiun. Di Madiun berdiri
EMRO (Eerste Madiunsche Radio Oemroep) dipimpin oleh Partalegawa, 1936.
7. Cabang Medan

Stasiun ini didirikan oleh PPRK awal dasawarsa 1940-an. PPRK cabang Medan
diketuai oleh Ir Sarsito Mangunkusumo (Ketua SRV dan Bendahara PPRK).
8. Siaran Radio Indonesia (SRI) di Solo

Radio Indonesia (SRI) yang berdiri Oktober 1934. SRI merupakan stasiun radio
pertama kali yang menggunakan kata “Indonesia”. SRV dikelola oleh Pura
Mangkunegaran maka SRI dikelola oleh Kerajaan tertua dari dinasti Mataram yaitu
Keraton Kasunanan Surakarta dibawah pimpinan Pangeran Suryohamijoyo dan Mulyadi
Joyomartono. SRI menyebut dirinya sebagai radio “bernafaskan Islam”.
9. Kerjasama siaran antara SRV dengan SRI dan Keraton Kasunanan Solo
SRV sering bekerjasama dengan Kraton Kasunanan untuk menyiarkan secara langsung
perayaan Sekaten yaitu peringatan kelahuran Nabi Muhammad SAW dari Masjud Agung
Surakarta 18 Juni 1934.
RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik
Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta lebih popular dengan sebutan RRI Solo tidak
terlepas dari Solose Radio Vereniging (SRV) dibidani oleh Pengageng Praja Mangkunegaran.

Pada tahun 1934 Pemerintah colonial Hindia Belanda memberi izin pendirian stasiun radio
NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep) di setiap kota besar di pulai Jawa seperti
Bandung, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Magelang, Malang,
dan Surabaya. NIROM melakukan relay siaran dari perkumpulan radio ketimuran seperti SRV,
VORO, VORL, dan MAVRO dengan memberi imbalan dana atau hak siar. Semakin banyak jam
relay, semakin tinggi juga hak siar yang harus dibayar oleh radio yang di relay. Hal tersebut
membuat NIROM melakukan monopoli siaran. NIROM hendak menguasai seluruh siaran
ketimuran mulai 1937. NIROM dianggap mengingkari perjanjian bahwa pembayaran hak siar
akan ditingkatkan jika jumlah pendengar meningkat karena selama ini pajak radio (luisbijdrage)
hanya dinikmati NIROM sementara peningkatan jumlah pendengar lebih banyak didorong siaran
dari radio ketimuran.
Pada 1 November 1940 PPRK mendapatkan mandat penuh untuk mengelola siaran
ketimuran. Namun, dengan kehadiran balatentara Nippon di Indonesia, pada Maret 1942 riwayat
PPRK beserta anggotanya berakhir tanpa acara penutupan. Ciri yang melekat pada SRV yaitu
lahir karena dorongan kebutuhan dari lingkungan komunitas budaya Jawa di Mangkunegaran
yang menghendaki agar seni budaya bisa didengarkan oleh kalangan lebih luas yakni masyarakat
di luar Pura Mangkunegaran. Semangat perjuangan mempertahankan eksistensi budaya lokal,
jiwa mandiri, dan semangat pemberdayaan dilakukan oleh pengurus SRV menjadi warisan yang
tidak ternilai dan perlu ditransformasikan generasi ke generasi. Nilai-nilai warisan pendiri SRV
dapat menjadi acuan generasi penerus yang mengemban tugas di RRI Surakarta.
PPRK mendapat mandate untuk menyelenggarakan siaran ketimuran berdasarkan Surat
Keputusan Gubernements Secretaris No. 1458/A tangggal 30 Juni 1940. Surat keputusan itu
menegaskan pemerintah setuju terhadap penyerahan pekerjaan dari NIROM kepada PPRK. Akan
tetapi, siaran yang dikelola PPRK hanya bertahan kurang dari satu setengah tahun karena
Balatentara Jepang keburu masuk di Indonesia. Maklumat resmi Tenno Heika yang keluar pada 8
Desember 1941, perang Pasifik mulai berkobar. Jepang bergabung dengan Jerman menghadapi
pihak Sekutu yaitu Amerika, Inggris, dan Australia. Jepang mengobarkan semboyan
“memerdekakan bangsa-bangsa Asia yang masih terjajah dan bersama-sama membangun Asia
Timur Raya yang makmur..” untuk mengdapatkan dukungan dari Indonesia.

Jatuhnya bom atom di Hirosima pada 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki 9 Agustus
menandai kekalahan Balatentara Jepang dalam Perang Dunia II melawan Sekutu (Ricklefs, 1981:
314-315). Secara formal, radio-radio penerima milik masyarakat disegel agar tidak menerima
siaran asing kecuali dari NHK (Jepang). Tetapi bagi mereka yang bekerja di Hoso Kyoku,
mengikuti siaran asing sangat dimungkinkan karena mereka dapat menyiasati penyegelan
tersebut. Orang Indonesia yang bekeerja di Hoso Kyoku diam-diam melakukan konsolidasi
untuk mengantisipasi Jepang segera meninggalkan Indonesia. Maka dari itu, ketika Ir. Soekarno
dan Muhammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia di Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945, penyiar Hoso Kyoku di Jakarta, Yusuf Ronodipuro
dapat menyebarluaskan peristiwa monumental tersebut karena sudah ada antisipasi sebelumnya.
Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Hal tersebut
menyebabkan Pemerintah Jepang memerintahkan pimpinan Hoso Kyoku menutup siaran per 19
Agustus 1945.
Pada 13 September 1945, Maladi mengadakan pertemuan dengan pimpinan Hoso Kyoku
Solo dengan maksud menyampaikan keputusan di Jakarta. Sekitar 19 September, kota Solo
diramaikan dengan berita tentara Belanda telah masuk Indonesia. RRI telah berhasil
menyelenggarakan siaran rutin adalah mencari tempat strategis untuk menempatkan pemancar
yang aman tetapi mampu menjangkau wilayah yang luas. Langkah ini dilakukan karena mandate
dari rapat di Jakarta sebagai bentuk antisipasi menghadapi perang dengan tentara Sekutu yang
datang kembali ke Indonesia.
Tahun 1945-1950 merupakan periode menentukan bagi kelangsungan masa depan
Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agusrus 1945, disusul lahirnya rri
PADA 11 September. Tidak lama kemudian, terjadi pertempuran di Surabaya pada 10 November
1945 menyebabkan tewasnya Komandan Pasukan Perang dari Inggris Brigadir Jenderal AWS
Malaby. Peristiwa tersebut yang dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Secara administratif, RRI Surakarta masuk dalam kategori Stasiun Tipe C dengan
kedudukan setingkat eselon III. Meskipun demikian, wilayah layanannya meliputi daerah
Karesidenan Surakarta, yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo. Secara
geografis dan sosio kultural, RRI Surakarta beroperasi di wilayah pusat atau jantung budaya
Jawa karena di kota ini berdiri kokoh Keratonan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura

Mangkunegaran yang diakui dunia sebagai lekas bersemayamnya “ruh” budaya Jawa. RRI
Surakarta menetapkan tag line sebagai: “Radio yang terdepan dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya Jawa”.

KEBIJAKAN KOMUNIKASI PENYIARAN I

COntact us

Thanks for submitting!

  • Grey Twitter Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by The New Frontier. Proudly created with Wix.com

bottom of page