top of page

kebijakan komunikasi di bidang film

Film merupakan sebuah karya sebagai alat informasi yang dapat menjadi alat penghibur, alat propaganda bahkan alat politik. Film tidak bisa dilihat dari sisi budayanya saja, tetapi dilihat dari sisi historis, sosial, politik maupun ekonomi.
Permulaan: Awal 1900-an - 1956. Film masuk ke Indonesia sudah sejak tahun 1900-an ketika negara Indonesia belum berdiri, dan masih dalam penjajahan Hindia-Belanda. Perfilman Indonesia diawali dengan berdirinya bioskop pertama pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama ‘Gambar Idoep’ yang menanyangkan berbagai film bisu. Tahun 1916, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan usaha bioskop melalui lembaga bernama Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF) untuk penyelenggaraan usaha bioskop atau ‘gambar idoep’. Sebagaimana disebutkan
dalam Film Ordonantie No. 276, sistem penyensoran dilakukan dengan pra-produksi melalui deskripsi film, tetapi jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF. Ordonansi 1916 berkali-kali mengalami pembaharuan tertera dalam Lembaran Negara No. 377 (1919), No. 688 (1919), dan No. 742 (1922).


Beberapa Larangan dalam Lembar Negara No. 377 (1919), antara lain :
1. Mengganggu ketertiban umum
2. Melanggar kesusilaan, tata krama; mengandung pengaruh merusak, seperti bahasa atau perilaku kasar
Dibuat aturan tambahan dalam Film Ordonantie No. 742, yaitu anak-anak yang belum
mencapai 15 tahun dilarang menonton film, kecuali KPF menyatakan bahwa film tersebut dianggap tidak merusak anak, atau ada penerangan jelas pada karcis bahwa film tersebut layak bagi anak-anak (Semua Umur).
Sepanjang paruh pertama dekade 1900-an, film-film Amerika dan Eropa menyebar di
kota-kota Pulau Jawa, terutama di Jakarta. Sebagian film dipertunjukkan terbuka seperti bioskop keliling. Awal dekade 1920-an, masuknya film-film Amerika menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat kolonial Belanda. Penguasa khawatir akan dampak yang ditimbulkan dari film terhadap masyarakat bumiputra yang tidak berpendidikan. Pada November 1925, Inter-Ocean, majalah Hindia-Belanda diterbitkan di Jakarta memuat artikel bertajuk ‘Film di Dunia
Timur’ yang mencatat kasus-kasus di Tiongkok, Malaysia, dan India, kemudian mengabarkan ‘efek merusak’ dari film-film Amerika. Setahun kemudian, muncul sebuah artikel di The Times (London) disebutkan bahwa akibat menonton film, ‘sejumlah besar orang-orang kulit hitam,

coklat, dan kuning’ kini menyaksikan kehidupan pribadi orang Eropa terutama wilayah pusat kejahatan dan kebobrokan moral yang sebelumnya tidak diketahui hingga film Amerika mempertontonkannya secara karikatural. Artikel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat ‘oriental’ berpendidikan telah mengadopsi kebiasaan Barat, orang pribumi yang tidak berpendidikan justru tertarik dan dipengaruhi film.


Pada tahun 1926 muncul produksi film bertema lokal yang dibuat oleh sutradara Belanda bernama G. Kruger dan L. Heuveldorp berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang diproduksi di Bandung. Walaupun dibuat oleh orang asing, film tersebut ditetapkan sebagai film cerita Indonesia pertama karena menampilkan cerita asli Indonesia. Industri perfilman Indonesia baru tumbuh akhir tahun 1920-an saat secara ekonomi orang-orang Tionghoa mengambil alih industri film di Indonesia. Film Indonesia-Tionghoa pertama dibuat oleh Wong bersaudara yang bermigrasi dari Shanghai ke Bandung pada 1928. Belanda mendirikan perusahaan film Algemeen Nederlandsh-Indisch Film (ANIF) pada tahun 1930-an. Perusahaan tersebut signifikan bagi sejarah produksi film di Indonesia karena tiga alasan yaitu Pertama, perusahaan tersebut memproduksi film romantis yang sangat laku dengan pemerannya orang pribumi didasarkan pada skenario yang ditulis oleh orang Indonesia asli.

​

Kedua, ANIF memproduksi film propaganda pemerintah pertama. Ketiga, pada 1950, ANIF berubah menjadi Perusahaan Film Negara (PFN) milik pemerintah. Pada tahun 1936, ANIF memproduksi film propaganda Indonesia pertama yaitu Tanah Sebrang. Film ini memuji kebijakan transmigrasi pemerintah Belanda yang memindahkan

sebagian populasi dari Jawa ke Sumatera. Film kedua Anif yaitu Terang Bulan yang merupakan film yang diproduksi terakhir hingga pecahnya peperangan. Meletusnya perang di Eropa pada 1939 memberi angin bagi pergerakan kaum nasionalis di Indonesia. Pendudukan Jepang mempengaruhi kehidupan sinema di Indonesia. Produksi film Indonesia melesat hingga 41 film di tahun 1941. Pada tahun 1942, Jepang datang ke Indonesia. Pendudukan Tentara Jepang pada tahun 1942 mengurangi jumlah produksi film di Indonesia dengan melarang seluruh aktivitas perusahaan film milik swasta, dan pertama kalinya secara berkelanjutan sinema digunakan sebagai alat propaganda. Pada 8 Maret 1942, pemerintahan Hindia Belanda menyerah di hadapan tentara pendudukan Jepang. Jepang menduduki studio ANIF. Unit produksi film milik Jepang, Nihon Eigasha dibawah kendali Sendenbu Departemen Propaganda Tentara Jepang, menjadi satu-satunya organisasi yang diizinkan untuk memproduksi film. Nihon Eighasa menghasilkan delapan film-film propaganda perang Jepang. Jepang menggunakan film sebagai alat propaganda untuk memperkuat semboyan “Nippon Cahaya Asia”.

​

Dinas Propaganda tentara pendudukan Jepang Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film), pada bulan Desember 1942, berisi larangan konten film Hollywood, kecuali jika film tersebut mengandung cerita kejahatan Barat atau persahabatan dengan Asia. Penggunaan film sebagai media propaganda mengajarkan orang Indonesia bagaimana mereka dapat memanfaatkan film untuk pergerakan. Film-film yang diperbolehkan harus mempertunjukkan kehebatan militer Jepang, Budaya dan moral khas Bangsa Jepang, keinginan pemerintah Jepang. Film-film yang diproduksi harus menggunakan

bahasa Indonesia atau bahasa Jepang, menggambarkan hubungan yang baik antara Jepang dan Asia, menggambarkan semangat nasionalisme, memperlihatkan kehebatan tentara Jepang, memperlihatkan kekayaan alam demi kesiapan menghadapi perang pasifik. Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, dan tiga hari setelahnya 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Tanggal 6 oktober, Jepang memindahkan Nihon Eigasha ke tangan Indonesia yang diubah menjadi Berita Film Indonesia (BFI) dan berada di bawah kewenangan Menteri Penerangan Republik Indonesia, Amir Syarifuddin. Ketika Jepang angkat kaki dari Indonesia, badan yang berhak menyensor beralih pada Panitia Pengawas Film (PPF). Pemerintah Indonesia lewat Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksaan Film (BPF) yang diangkat dan diberhentitkan serta bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan RI.


30 Maret 1950 dipilih sebagai Hari Film Nasional karena pada tanggal itu merupakan
hari pertama pengambilan gambar untuk Film ‘Darah dan Doa’. Film yang muncul pada saat itu adalah ‘Darah dan Doa’ karya Usmar Ismail pada tahun 1950 menjangkau peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lalu mengenai perjalanan prajurit divisi Siliwangi untuk kembali dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Akibatnya, film ini menyinggung perasaan banyak pihak dan dilarang
beredar di beberapa distrik oleh otoritas militer lokal yang merasa penekanan peran Divisi Siliwangi telah mengerdilkan peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Sejumlah laporan menyebutkan film ini disensor habis-habisan, namun tidak ada yang memberikan gambaran rinci apa saja yang dipotong oleh gunting sensor. Ketika isu sensor film didiskusikan dalam Kongres Kebudayaan II tahun 1952, tidak ada satu pihak yang menganjurkan agar sensor diakhiri. Merujuk pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1952, instruksi sensor film semakin diperkuat dan ditekankan pada pelarangan film yang mengandung adegan atau percakapan yang berisi anjuran perang, pelanggaran asas ksatria, penggunaan senjata, adegan perang yang berulang-ulang, dan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan sendiri.

​

Sekitar tahun 1956 impor menjadi isu industri dan di tahun 1964 berkembang sebagai isu politik. Sektor-sektor industri yang berbeda, terutama organisasi produser (PPFI) dan organisasi pekerja film (SARBUFIS) berselisih soal bagaimana menanggapi impor. Persoalan ini dipandang sebagai konflik antara para pekerja dan pemilik modal dalam industri yang bersangkutan. Setelah dibentuk tahun 1956, PPFI (serikat produser) merencanakan pembatasan impor film. Sasarannya adalah film India dibandingkan Amerika karena film-film Amerika cenderung ditonton oleh kelas terdidik perkotaan yang tidak mau menonton film Indonesia, sedangkan film-film India memiliki daya tarik di kelas sosial yang lebih rendah. Pada 19 Maret 1957 PPFI memutuskan untuk menutup seluruh studio sebagai protes atas dominasi film-film India di pasaran. Sejak 1958 bisa dikatakan politik perfilman tidak jelas. Dilihat dari sisi proteksi untuk produksi dalam
negeri belum memadai, sementara film impor tetap merajalela.

Pada 5 Agustus 1964, diterbitkan Penetapan Presiden Nomor 1/1964 yang menegaskan
aturan bahwa film Indonesia yang dibuat harus mendukung ideologi Pancasila, menggambarkan hal-hal yang mengandung pemberitaan kebijaksanaan pemerintah, dan memperlihatkan syarat-syarat ketertiban umum yang berlaku. Film yang diimpor tentu juga tidak boleh mengandung konten yang bertentangan dengan Pancasila, menjadi alat propaganda pihak lain, dan harus sesuai dengan syarat ketertiban umum Indonesia.

​

Sinema Orde Baru
Memasuki Orde Baru, berbagai film yang dirasa tidak sesuai dengan ideologi rezim Orde Baru langsung dibredel atau dipaksa diubah. Tugas tersebut dilakukan oleh Departemen Penerangan dan Komite Sensor Film yang kini beralih nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Pengawasan pada proses praproduksi hingga pascaproduksi film diberikan secara ketat. Misalnya, judul film tidak boleh menggambarkan ideologi komunisme. Pada masa ini, masyarakat lebih banyak diberikan film mengenai percintaan atau horror daripada mengenai politik karena kerap terkena sensor bahkan akhirnya dibredel karena dianggap bertentangan dengan ideologi Bangsa. Sistem sensor tersebut menjadi salah satu kuasa mutlak dari Pemerintahan. Pemerintah memahami bahwa kekuatan film membentuk cara pandang
masyarakat. Orde Baru mewarisi sifat-sifat dasar medium yang dikontrol ketat di bawah Departemen Penerangan. Hingga tahun 1964, wewenang negara atas sinema masih dipegang oleh empat departemen yang berbeda yaitu Pendidikan, Kebudayaan, Penerangan Perdagangan, dan Industri. Setelah keluar Instruksi Presiden tahun 1964, Departemen Penerangan bertanggung jawab atas seluruh aspek perfilman di Indonesia, Tahun 1978, Departemen Penerangan berada di bawah tanggung jawab Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

​

Dewan Film adalah pihak yang paling terlibat dalam retorika pemerintah ‘mengembangkan film Indonesia sebagai bentuk kesenian’. Ketika Jenderal Ali Murtopo menjabat Menteri Penerangan di tahun 1978, beberapa orang di industri film memandang bahwa sebagai mesin publisitas departemen pemerintah, dewan film memiliki nama besar tetapi kenyataannya tidak memiliki kontrol atas aspek apapun dalam produksi film. Dewan film pertama setelah tahun 1965, terdapat Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang didirikan pada 1968 oleh Menteri Penerangan editor senior surat kabar, BM Diah. DPFN diharapkan memfasilitasi produksi film-film berkualitas yang dapat berperan sebagai contoh bagi produser-produser komersil, serta meningkatkan apresiasi penonton terhadap sinema Indonesia. Penggunaan film sebagai propaganda pemerintah dilakukan melalui Perusahaan Film Negara (PFN) yang berhenti memproduksi film sejak 1962. Setelah 1965, PFN beroperasi sebagai studio pemrosesan film dan memproduksi sejumlah dokumenter. Karena kecilnya sektor

produksi dan kerawanan finansial pada sektor tersebut, aktivitas produksi film oleh kelompok-kelompok yang diasosiasikan dekat dengan pemerintah menjadi faktor signifikan dalam perfilman Indonesia di awal 1980-an.

​

Sensor Pemerintah
Sensor adalah aspek kontrol pemerintah yang paling terlihat dari bentuk dan isi film. Pra-sensor sebagai sebuah persyaratan produksi membedakan film-film Indonesia. Lahir dari film Belanda, Badan Sensor Film (BSF) adalah institusi perfilman Indonesia yang paling tua dan tangguh. Penghapusan subsidi pemerintah di awal 1970-an, untuk mengawali sensor ini adalah bahwa produser melindungi investor dari penginvestasian dana pada film yang nantinya hanya akan dilarang oleh BSF. Sebelum syuting dimulai, skenario sebuah film harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Direktorat Film Departemen penerangan. Setelah selesai, rush copy-nya (rol film yang belum diedit) wajib diserahkan ke otoritas demi mendapat petunjuk apa saja yang harus dipotong. BSF tidak bisa memotong atau mengubah sebuah film, namun mereka mampu melarangnya beredar di provinsi atau wilayah kewenangannya. Pada praktiknya, wewenang kekuasaan ini sering kali tidak efektif. Pedoman-pedoman disusun oleh BSF dalam Kode Etik Badan Sensor Film yang ditindaklanjuti. Upaya menerbitkan aturan-aturan sensor sebagian diakibatkan oleh desakan kalangan industri, terutama produser. Pernyataan yang dibuat BSF nyaris seluruh peraturan yang tercantum justru lebih berhubungan dengan keamanan bangsa, negara, dan pemimpin yang berkuasa. Kedua dokumen BSF (Pedoman dan Kode Etik) menginstruksikan sebuah film akan dilarang beredar jika dianggal berpotensi ‘merusak kerukunan beragama di Indonesia’, ‘membahayakan’ pembangunan kesadaran nasional’.


Penonton bukanlah kesatuan yang terorganisasi seperti institusi-institusi. Penonton adalah individu yang berlainan dan terpisah. Struktur dalam sebuah konsep dimana penonton tidak hanya mempengaruhi tekstualitas masing-masing film, tetapi juga menjadi dasar bagi konstruksi sinema sebagai sebuah ruang publik yang dikontrol secara budaya, ekonomi, dan politik. Pemerintah Indonesia sejak dulu membenarkan sensor dengan dalih yang sama, yaitu bahwa sinema menjangkau khalayak yang tidak membaca, buta huruf, tidak cerdas, dan mudah terpengaruh. Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman. UU tersebut menyatakan bahwa sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film untuk menentukan film tersebut dapat dipertunjukkan atau tidak kepada umum. Dalam UU

No. 8 Tahun 1992, film diarahkan untuk :

(1) melestarikan dan mengembangkan nilai budaya,
(2) membangun watak dan kepribadian bangsa serta dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.

​

Dari UU Perfilman Tahun 1992, lahir Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang
Lembaga Sensor Film (LSF). PP tersebut memiliki kewenangan antara lain, (1)memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak dipertunjukkan dan ditayangkan kepada umum

(2) menetapkan penggolongan usia penonton.


Tumbangnya Orde Baru pada 1998, perkembangan teknologi yang mendorong perubahan terhadap peraturan Undang-Undang yang telah dipakai sejak rezim Orde Baru. Pada tahun 2009 pemerintah memperbarui Undang-Undang Perfilman dengan melahirkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang ini, konten yang dilarang berubah mengikuti dinamika politik bangsa. Terdapat Peraturan Pemerintahan Nomor 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film yang menimbang UU No. 33 Tahun 2009. Setiap film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukkan kepada khalayak umum wajib memperolah surat tanda lulus sensor (Pasal 57 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2009, 24 ayat (1) PP 18/2014. Surat tanda lulus sensor diterbitkan setelah penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan dipertunjukan khalayak umum (Pasal 57 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2009). Film yang tidak lulus sensor dikembalikan kepada pemilik film dan iklan film untuk diperbaiki dan film yang telah diperbaiki oleh pemilik film dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai embali oleh LSF (Pasal 24 ayat (2) PP 18/2014).


Kriteria sensor menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang
mengandung isi film (Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009) dan Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30 PP 18/2014) :

1. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, serta menyalahgunakan narkotika, psikotoprika, dan zat adiktif lainnya
2. Pornografi, meliputi adegan visual, dialog, dan atau monolog yang menyampaikan nafsu seks secara vulgar dan berlebihan.
3. Memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan
atau antargolongan

4. Menistakan, melecehkan, dan atau menodai nilai-nilai agama
5. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum dan atau anarkis terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
atau lambang negara
6. Harkat dan martabat manusia, meliputi adegan visual, dialog dan atau monolog melanggar hak asasi manusia.
7. Usia penonton film, meliputi adegan visual dan dialog, dan atau monolog yang
layak atau tidak layak dipertontonkan.

COntact us

Thanks for submitting!

  • Grey Twitter Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by The New Frontier. Proudly created with Wix.com

bottom of page