
kebijakan komunikasi media cetak II
Menghindari kajian da studi a-historis dan normative tentang realitas dan dinamika pers
Indonesia, pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawan (1986) mengenai bagaimana mempelajari
dan memahami tingkah laku pers di suatu negara ditolak. Menurut mereka, mengetahui realitas
pers suatu negara harus dikaji dasar dan hakiki yang diyakini dan digunakan oleh negara tersebut
dalam menyusun tata kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan karena pers selalu mengambil
bentuk dan warna yang sesuai dengan dasar dan hakiki yang digunakan oleh negeri pers tersebut.
Penolakan pendapat Fred S. Siebert didasarkan atas beberapa argument. Telah terjadi distorsi
antara aspirasi dan kehendak konstitusional, peraturan hukum positif serta ideology resmi negara
dengan kenyataan sosial dan praktek politik dalam kehidupan sehari-hari. Penolakan terhadap
pendapat tersebut memunculkan pendekatan alternatif yang relevan, historis dan empiris yaitu
pendekatan struktural. Asumsi pendekatan tersebut berkenaan dengan fenomena dan realitas pers
yaitu eksistensi, realitas dan dinamika, orientasi serta posisi pers suatu negara ditentukan oleh
kondisi struktural masyarakat dimana pers tersebut berada. Kondisi struktural menampilkan
wujud nyata dalam bentuk status dan dinamika hubungan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan
politik.
Dunia ketiga pada umumnya dan konteks Indonesia pada khususnya, kekuatan sosial,
ekonomi, dan politik yang dimaksudkan McQuail tersebut cenderung bersifat bipolar. Hanya ada
dua kekuatan utama yang bersaing yaitu kekuatan politik negara diwakili oleh militer dan
birokrasi, dengan kekuatan politik masyarakat diwakili oleh partai politik non-negara, pedagang
serta kelompok penekan lainnya, dan pers. Terdapat teori klasik dan teori modern mengenai
hubungan negara dan masyarakat yang bertujuan memperluas wawasan dan nuansa teoritis bagi
perspektif dalam studi ini. Terdapat empat tokoh pemikir klasik yang secara tidak langsung
mempengaruhi teori modern (kontemporer) yaitu, John Locke (1632-1704), Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778), dan Karl Max (1818-1883).
John Locke mengemukakan bahwa eksistensi kekuasaan dan kedaulatan negara tercipta
dari hasil pemberian kekuasaan dan kedaulatan dari masyarakat yang dilihat dari konteks paham
liberal. Paham liberal sebagai sekumpulan warga negara yang menitikberatkan individualis
daripada sosialitas dalam hubungan sosialnya. Kekuasaan yang dilimpahkan dari masyarakat
kepada negara dapat dicabut bila negara tidak bisa berbuat sesuai dengan aspirasi para
masyarakat. Dengan demikian, eksistensi negara ditekankan oleh warganya diandingkan dengan
kehendaknya sendiri.
Ada tiga teori modern mengenai negara dan masyarakat yaitu teori Pluralis, teori Organis,
teori Marxis, dan satu tambahan teori yang resmi dianut oleh pemerintah Orde Baru Indonesia
yaitu teori Integralistik. Pertama, teori Pluralis melihat hubungan negara dan masyarakat dalam
posisi tidak seimbang. Masyarakat menduduki posisi dominan, sedangkan negara menduduki
posisi sub-ordinan. Kedua, teori Organis melihat hubungan negara dan masyarakatnya tidak
seimbang, negara posisi dominan sedangkan masyarakat sebagai sub-ordinan. Ketiga, teori
Marxis modern melihat negara bisa menjadi alat kelas kapitalis, tetapi juga dapat mempunyai
otonomi relatif. Negara memiliki otonomi penuh atas buruh yang merupakan mayoritas dari
masyarakat, tetapi tidak berdaya jika berhadapan dengan kapitalisme. Terakhir, teori Integralistik
melihat bahwa negara dan masyarakat adalah dua entitas yang bersatu dengan rasa kekeluargaan
dan gotong royong masyarakatnya. Aparat negara harus bijaksana agar dapat memimpin
rakyatnya menuju cita-citanya.
Berdasarkan teori diatas, studi ini menempatkan negara dan masyarakat bukan sebagai
sesuatu yang identik dan integralistik, akan tetapi sebagai dua entitas yang berbeda dan terpisah.
Ada catatan yang dikemukakan sebagai konsekuensi penempatan pers dalam hubungan negara
dan masyarakat. Pertama, pers hanya dilihat sebagai mediasi dari berbagai kekuatan sosial,
ekonomi, dan politik. Pers lebih digunakan sebagai refleksi dari hubungan negara dan kekuatan-
kekuatan politik masyarakat. Akan tetapi, pers juga dapat dilihat sebagai bagian kekuatan sosial-
politik dari kekuatan sosial, politik dan ekonomi dalam suatu orde politik tertentu. Hal ini lebih
merupakan konsekuensi sosiologis, politis, ideologis dan historis dari eksistensi pers itu sendiri.
Apabila menempatkan pers sebagai mediasi dalam hubungan antara negara dan masyarakat, ada
dua proposisi yang saling bertentangan dalam melihat isi dan orientasi pers. Pertama, apabila
negara menempati posisi dominasi, berarti masyarakat menempati sub-ordinasi, maka pers
cenderung berorientasi kepada negara. Kedua, apabila masyarakat menempati dominaso dan
negara menmpati posisi sub-ordinasi, maka pers lebih berorientasi ke masyarakat.
Perkembangan dan pertumbuhan negara dan masyarakat bangsa Indonesia selalu
menghadapi berbagai tekanan strukturalm khususnya kapitalisme kolonialistik-merkantilistik
pada masa colonial Belanda serta kapitalisme modern pada pasca colonial. Pada zaman pasca
colonial, terutama sejak tahun 1966 ketika negara Orde Baru menunjukkan wajahnya nyata dan
perkasa. Pada masa itu, hanya kelompok militer terutama Angkatan Darat yang mampu tampil
memimpin dan berkuasa atas negara, sedangkan masyarakat non-militer tidak memiliki
kekuatan. Pada masa krisis ekonomi awal Orde Baru (1966-1968), peran kapitalis internasional
sangat besar dengan bantuan utang luar negeri dan investasi modal asing guna membantu negara
mengatasi krisis ekonomi. (Mothar Mas’oed, 1989a, 1990a). Terpisahnya negara dari
masyarakat, serta sentral peranan militer dan kapitalis internasional dalam pembinaan negara,
telah membentuk sifat-sifat negara Orde Baru sebagai otonom, dominative, represif jika
berhadapan dengan masyarakat. Negara menjadi dependen atau sub-ordinan jika berhadapan
dengan kapitalisme internasional.
Orde Baru mendudukkan relasi saling terkait antara kekangan keamanan dan undang-
undang yang mengendalikan pers. Hambatan seperti ini membuat pesan media menjadi lunak.
Pada bulan Juni 1994 berdampak pada pembredelan yang tak bisa dibantah dan bencana
finansial. Kondisi tersentralisasi di tangan presiden dan dijalankan oleh Angkatan Bersenjata.
Hal ini menyebabkan kekuasaan terpecah oleh dorongan pasar yang melampaui mengenai
keamanan nasional yang tidak didefisiniskan dengan jelas. Presiden Soeharto saat menginjak
jabatan lima tahun, lebih bergantung pada menter-menteri sipilnya yang membuat pimpinan
militer kecewa. Sebagai pendukung pers terbuka, kelas menengah menuntut akses informasi dan
pengetahuan dari media massa, baik cetak maupun elektronik, yang bebas menyediakan laporan
komprehensif tentang hal-hal terkait dengan kepentingan publik. Dekade awal kemerdekataan,
pers disebut oleh presiden pendiri Sukarno sebagai ‘alat Revolusi’, bertanggung jawab untuk
memompa semangat dan menggerakan pendapat publik. Gus Dur merupakan sosok penting
dalam perkembangan pers modern di Indonesia. Fakta mengatakan bahwa baru sebulan menjabat
sebagai Presiden RI, Gus Dur tidak tanggung-tanggung menegakkan kebebasan pers.
Langkahnya adalah melikuidasi Departemen Penerangan (Deppen). Pada era Orde Baru, Deppen
merupakan pengatur, pengawas, dan pengendali informasi. Dalam UU No. 11 Tahun 1966 Junto
No. 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers dan sejumlah Peraturan Pemerintahan yang terbit, secara
tegas Menteri Penerangan diberikan kewenangan untuk menentukan kebijakan pers.