
kebijakan, hukum, dan regulasI
telekomunikasi dan digitalisasi penyiaran
Latar Belakang UU Telekomunikasi
Pada tahun 1996, pemerintah (menteri perhubungan) telah membuat rancangan Undang Undang Telekomunikasi yang pada akhirnya disahkan oleh Presiden Habibie pada tanggal 8 September 1999. Sebenarnya pada tahun 1980-an Undang-Undang Telekomunikasi sudah diproses pada zaman deregulasi, saat liberalisasi besar-besaran yang dipelopori oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan. Namun pada tahun 1997 John Mayor menggantinya dengan konsep baru yaitu Better Regulation, dimana peranan negara sangat dibutuhkan untuk membantu yang terpinggirkan dan menciptakan keadilan. Walaupun disahkan pada tahun 1999, Undang-Undang Telekomunikasi lahir dari proses liberalisasi dengan konsep deregulasi dan liberalisasi yang dapat dilihat dari kolaborasi antara negara dan kapital/pasar besar, dengan negara maupun pemerintah yang memberikan kebebasan pada pasar dan pemodal asing (Rahayu, Wahyono, Rianto, Kurnia, Wendratama & Siregar, 2015, h.46-47).
​
Regulasi Telekomunikasi
Menurut Undang Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi BAB I Pasal 1, telekomunikasi ialah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Perangkat telekomunikasi merupakan sekelompok alat telekomunikasi yang memungkingkan bertelekomunikasi. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Kemudian Jasa
telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi. Selanjutnya, dalam telekomunikasi juga terdapat penyelenggara telekomunikasi yang merupakan perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Dalam telekomunikasi juga terdapat pelanggan, pemakai, dan juga pengguna. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi tidak berdasarkan kontrak. Dan pengguna adalah pelanggan dan pemakai.
Demokratisasi Telekomunikasi dan Penyiaran
Indonesia merupakan negara demokratis yang menekankan adanya prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis dan tegaknya keadilan. Indonesia seharusnya menjadi negara demokrasi yang menjamin hak sipil dan politik dan
yang paling penting hak ekonomi, sosial, dan budaya. Negara yang demokratis dapat dilihat dari tiga indikator, yaitu kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), kemerdekaan berbicara (freedom of speech), dan kemerdekaan pers (freedom of the press). Namun dalam dunia media dan komunikasi yang demokratis harus ada jaminan terhadap diversity of voice, diversity of content, dan diversity of ownership (Rahayu, Wahyono, Rianto, Kurnia, Wendratama & Siregar, 2015, h.50-51).
​
Regulasi Penyiaran
Dalam industri penyiaran jelas berbeda dengan telekomunikasi, karena dalam industri penyiaran, pihak asing tidak diperbolehkan untuk menguasai lembaga penyiaran, yang diharapkan berpihak pada kepentingan nasional dan kepentingan publik (Rahayu, Wahyono, Rianto, Kurnia, Wendratama & Siregar, 2015, h.53). Lembaga penyiaran merupakan milik dan juga ranah publik yang bersifat free to air dan terestrial. Dalam dunia penyiaran (radio dan televisi) memiliki regulasi yang sangat ketat. Di Indonesia sendiri regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Teknologi yang berkembang juga membuat dunia penyiaran semakin lebih maju dengan memasuki dunia digital. Secara teknis, digitalisasi adalah proses
perubahan segala bentuk informasi (angka, kata, gambar, suara, data, dan gerak) dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit) atau satuan terkecil dalam komputasi digital sehingga dimungkinkan adanya manipulasi dan transformasi data (bitstreaming), termasuk penggandaan, pengurangan, maupun penambahan (Rosidah & Wulandari, 2019, h.32). Siaran analog dianggap tidak sesuai dengan kemajuan zaman yang serba praktis, cepat, dan sempurna. Oleh sebab itu perlu adanya digitalisasi penyiaran memajukan industri penyiaran yang masih dalam bentuk analog sampai saat ini. Secara teknis digitalisasi penyiaran merupakan terminologi untuk menjelaskan proses alih format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital (Rosidah & Wulandari, 2019, h.32).
​
Draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran
Dalam draf Rancangan Undang-Undang penyiaran mengatur mengenai digitalisasi penyiaran. Pertama dalam BAB 1 terdapat perubahan arti penyiaran menjadi “Penyiaran adalah kegiatan memancar teruskan, mengalirkan, dan/atau menyebarluaskan siaran baik secara satu arah maupun interaktif melalui sarana pemancaran, pipa, aliran, dan/atau sarana transmisi di darat, laut, udara, atau antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui terestrial, kabel dan satelit, serta menggunakan internet” di mana yang sebelumnya arti penyiaran dalam Undang-Undang Penyiaran adalah “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”(Ismail, Sari, Tresnawati, 2019). Dapat dilihat di atas draf rancangan telah merevisi definisi
penyiaran dengan menambahkan kata “menggunakan internet” yang sebelumnya tidak ada di Undang-Undang Penyiaran. Kemudian pada Pasal 5 menambahkan ruang lingkup yang secara jelas mencantumkan “penyiaran dengan teknologi digital”.